Rabu, 30 Desember 2015

RESENSI BUKU 168 JAM DALAM SANDERA

RESENSI BUKU 168 JAM DALAM SANDERA


DATA IDENTITAS

Judul                          : 168 Jam Dalam Sandera
Pengarang                  : Meutya Hafid
Penerbit                     : Hikmah
Tahun terbit              : 2007
Cetakan                      : Cetakan I, September 2007
Jumlah Halaman       : 286
ISBN                           : 978-979-114-121-5
Jenis buku                 : E-book
Harga                          : free


SINOPSIS

            Tanggal 15 Februari 2005 adalah peristiwa menggemparkan bagi Negara Indonesia, pasca terjadinya Tsunami Aceh. Peristiwa bersejarah yang dialami oleh reporter Metro TV yang bernama Meutya Hafid dan juru kamera yaitu Budiyanto yang disandera mujahidin Irak karena dicurigai telah menjadi mata-mata pasukan koalisi Amerika. Penyanderaan ini terjadi selama 168 jam atau selama satu minggu.

            Setelah kembalinya dari tugas peliputan bencana Tsunami Aceh, ia yang kerap dipanggil Meutya dan rekannya Budiyanto terpilih dan ditugaskan meliput suasana Irak setelah terjatuhnya kekuasaan Saddam Hussein. Negara Irak saat itu hancur dan porak-poranda, bagdad hancur berantakan, mencekam dan jalan di kota dipenuhi tank militer dan disetiap sudut dijumpai tentara dengan senjata lengkap. Medan yang sangat berat ditempuh Meutya dan Budiono serta seorang penerjemah dan orang yang menyewakan mobil untuk mereka yang bernama Ibrahim, setelah mereka menyelesaikan tugas mereka dengan baik, akhirnya mereka siap untuk kembali ketanah air, tiba-tiba bagian redaksi tempat mereka bekerja memerintahkan untuk membatalkan kepulangan mereka dan harus kembali ke Irak untuk meliput kegiatan peringatan Asyura yaitu peristiwa kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hussein bin Ali yang diperingati kaum syiah secara besar-besaran di kota karbala. Mereka terkejut dengan perintah itu, namun apadaya ini adalah perintah dan mereka menyanggupinya.

            Dalam perjalanan mereka kembali ke Negara Irak, mobil yang mereka tumpangi berhenti untuk mengisi bahan bakar di pom bensin, pada saat itulah peristiwa penculikan itu terjadi. Beberapa orang pasukan Mujahidin dengan wajah tertutup Kafiyeh, menyergap mereka dan kemudian membawa mobil mereka termasuk sang sopir KBRI yang mereka sewa, Ibrahim. Mereka dibawa ke sebuah gurun, dimana hanya ada padang pasir yang terhampar luas sejauh mata memandang. Maka tak ada jalan lain bagi Meutya, Budi, dan Ibrahim, kecuali  pasrah mengikuti para penyandera. Tak mungkin mereka melarikan diri atau melawan karena mereka bertiga ditodong senjata AK kecuali mereka ingin mati.

            Setelah berjam-jam perjalanan melewati gurun, mobil yang mereka kendarai bersama penyandera akhirnya sampai pada sebuah gua kecil yang akan menjadi tempat mereka disandera. Hampir setiap malam bunyi pesawat tentara koalisi melintas di atas mereka, benar-benar menciptakan suasana ketegangan dan ketakutan, karena ternyata gua yang mereka diami, adalah wilayah antara Ramadi dan Fallujah, wilayah itu adalah zona pertempuran antara gerilyawan Irak dan tentara koalisi. Dan itu berarti, jika pertempuran pecah, gua itu akan jadi sasaran empuk berondongan peluru dari kedua sisi berlawanan.

            Meski mereka disandera, namun perlakuan yang mereka terima selama masa penyanderaan jauh dari penyiksaan, mereka pun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh rasa hormat layaknya tamu. Makanan-makanan dan air setiap hari diantar dalam jumlah yang cukup, mesti para Mujahidin lain yang bertugas mengantar makanan-makanan itu mempertaruhkan nyawanya dalam perjalanan menuju gua. Selama beberapa hari itu tidak terasa mereka sudah bersahabat dengan para penyandera yang bernama Muhammad dan Ahmad. Mereka saling menceritakan dan berbagi pengalaman seputar diri, pekerjaan dan bahkan keluarga, membuat mereka merasa akrab satu sama lain. Kebersamaan mereka dari hari ke hari nyatanya telah menciptakan suatu ikatan batin diantara mereka.

            Pembebasan yang berliku-liku pun mesti dilewati dengan penuh kesabaran dan emosional, kenyatanya pembebasan yang mereka nanti-nantikan hanya sebuah janji yang tak kunjung terpenuhi, seperti yang dijanjikan Rois (pemimpin mujahidin). Dan pada akhirnya setelah menyelesaikan beberapa proses seperti rekaman dan foto, hari dimana yang mereka nantikan yaitu hari pembebasan karena mereka tidak terbukti bersalah. Namun hari pembebasan itu tak semulus perkiraan, karena dicurigai letak gua yang mereka tempati  telah diketahui oleh tentara koalisi Amerika, dan mereka harus diungsikan tiba-tiba ditengah gelapnya malam. Pada keesokan harinya mereka dilepas tempat dimana mereka diculik yaitu pom bensin, mereka segera menuju dan menancap gas ke perbatasan Irak-Yordania, karena mereka akan dijemput disana. Namun lagi-lagi masalah harus mereka hadapi, karena gerbang perbatasan Irak-Yordania untuk sementara ditutup karena adanya perayaan Asyura yang tidak memperbolehkan siapa saja keluar maupun masuk perbatasan. Setelah proses yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Irak mereka akhirnya diberikan izin untuk melewati gerbang perbatasan dan kembali ke Indonesia dengan selamat.


KELEBIHAN

Buku ini benar-benar memberi pelajaran pada kita, bahwa setiap pekerjaan, mempunyai resiko yang kadang memang menantang dan berbahaya. Namun kita pun harus mengukur seberapa besar kesiapan dan kemampuan kita, sampai dimana seharusnya kita melangkah atau berhenti ketika telah diambang batas kemampuan kita. Buku ini banyak sekali peristiwa yang rasanya membuat nyawa mereka serasa sudah diujung tanduk, namun secara mengejutkan, ternyata mereka bisa bertahan melewati itu semua.

Buku ini menggambarkan pengalaman bagaimana keadaan pada saat mula diculik atau disandera, hidup didaerah konflik yang jauh dari tanah air, dan pengalaman-pengalaman menegangkan lainnya, sampai akhirnya dibebaskan dan dipulangkan kembali ke Indonesia dengan selamat. Penuh dengan perjuangan dan ketegangan yang dirasakan, seolah-olah pembaca diajak larut dalam suasana ketegangan yang disajikan dalam buku ini. Tidak hanya ketegangan yang disajikan dalam buku ini, pembaca juga menemukan kejadian yang membuat kita tertawa dan kadang menitikkan air mata.

Pengalaman yang dirasakan Meutya dan Budianto tersebut penting untuk diketahui, terutama bagi komunitas wartawan atau jurnalistik yang dikhususkan hidup atau ditugaskan di daerah konflik. Sangat bermanfaat, mengajak kita untuk berpikir dan merenungkan, pada saat manusia berada dalam keadaan tekanan, keptusasaan, ternyata jika Tuhan mempunyai rencana lain, maka apapun menjadi mungkin. Dan hanya atas kekuasaannya, Meutya dan Budiyono, bisa keluar dengan selamat dan sehat walafiat dari Irak yang penuh ancaman.


KELEMAHAN

Sebagai pembaca kelemahan buku ini adalah tidak menceritakan secara detail kegiatan beribadah. Ketika saya membaca buku ini, muncul pertanyaan bagaimana mereka beribadah melakukan shalat wajib dengan keterbatasan tempat, air untuk berwudhu, yang tidak saya dapatkan jawabannya dalam buku ini. Buku ini disajikan dalam sudut pandang Meutya saja, padahal ada rekannya yaitu Budianto karena setiap pemikiran dan sudut pandang masing-masing pihak berbeda.


KESIMPULAN

            Buku 168 Jam Dalam Sandera ini menggambarkan pengalaman diculik dan disandera  yang alami oleh reporter Metro TV yang bernama Meutya Hafid dan rekannya juru kamera yaitu Budiyanto. Tempat terjadinya penculikan dan penyanderaan ini di Negara Irak, tempat dimana mereka berdua ditugaskan untuk meliput keadaan konflik disana. Buku ini sangat bermanfaat bagi para pembaca karena kita bisa mengambil pembelajaran bahwa setiap usaha yang kita jalani, pasti ada resiko yang harus kita hadapi, Seperti pepatah mengatakan “Semakin tinggi pohon, maka semakin besar pula angin yang menerpa”. Penulis juga ingin menyampaikan lewat buku ini bahwa, ikatan persahabatan yang mereka jalin bersama kedua penyandera yaitu Muhammad dan Ahmad, hal tersebut sangat mengharukan.


SARAN

            Seperti yang pembaca sampaikan pada kelemahan buku 168 Jam Dalam Penyanderaan, buku ini terasa kurang lengkap yang hanya bersudut pandang pada Meutya. Saya yakin dengan menghadirkan Budiyanto dan mungkin Ibrahim, mereka pasti memiliki pandangan atau perspektif yang berbeda dengan Meutya.



Download ebook via Google Drive : Klik Moh. Syairi


Resensator : Moh. Syairi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar