DATA IDENTITAS
Judul : 168 Jam Dalam
Sandera
Pengarang : Meutya Hafid
Penerbit : Hikmah
Tahun terbit : 2007
Cetakan : Cetakan I, September
2007
Jumlah Halaman : 286
ISBN : 978-979-114-121-5
Jenis buku : E-book
Harga : free
SINOPSIS
Tanggal 15 Februari 2005 adalah
peristiwa menggemparkan bagi Negara Indonesia, pasca terjadinya Tsunami Aceh.
Peristiwa bersejarah yang dialami oleh reporter Metro TV yang bernama Meutya
Hafid dan juru kamera yaitu Budiyanto yang disandera mujahidin Irak karena
dicurigai telah menjadi mata-mata pasukan koalisi Amerika. Penyanderaan ini
terjadi selama 168 jam atau selama satu minggu.
Setelah kembalinya dari tugas
peliputan bencana Tsunami Aceh, ia yang kerap dipanggil Meutya dan rekannya
Budiyanto terpilih dan ditugaskan meliput suasana Irak setelah terjatuhnya
kekuasaan Saddam Hussein. Negara Irak saat itu hancur dan porak-poranda, bagdad
hancur berantakan, mencekam dan jalan di kota dipenuhi tank militer dan disetiap
sudut dijumpai tentara dengan senjata lengkap. Medan yang sangat berat ditempuh
Meutya dan Budiono serta seorang penerjemah dan orang yang menyewakan mobil
untuk mereka yang bernama Ibrahim, setelah mereka menyelesaikan tugas mereka
dengan baik, akhirnya mereka siap untuk kembali ketanah air, tiba-tiba bagian
redaksi tempat mereka bekerja memerintahkan untuk membatalkan kepulangan mereka
dan harus kembali ke Irak untuk meliput kegiatan peringatan Asyura yaitu
peristiwa kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hussein bin Ali yang diperingati
kaum syiah secara besar-besaran di kota karbala. Mereka terkejut dengan
perintah itu, namun apadaya ini adalah perintah dan mereka menyanggupinya.
Dalam perjalanan mereka kembali ke
Negara Irak, mobil yang mereka tumpangi berhenti untuk mengisi bahan bakar di
pom bensin, pada saat itulah peristiwa penculikan itu terjadi. Beberapa orang
pasukan Mujahidin dengan wajah tertutup Kafiyeh, menyergap mereka dan kemudian
membawa mobil mereka termasuk sang sopir KBRI yang mereka sewa, Ibrahim. Mereka
dibawa ke sebuah gurun, dimana hanya ada padang pasir yang terhampar luas
sejauh mata memandang. Maka tak ada jalan lain bagi Meutya, Budi, dan Ibrahim,
kecuali pasrah mengikuti para
penyandera. Tak mungkin mereka melarikan diri atau melawan karena mereka
bertiga ditodong senjata AK kecuali mereka ingin mati.
Setelah berjam-jam perjalanan
melewati gurun, mobil yang mereka kendarai bersama penyandera akhirnya sampai
pada sebuah gua kecil yang akan menjadi tempat mereka disandera. Hampir setiap malam
bunyi pesawat tentara koalisi melintas di atas mereka, benar-benar menciptakan
suasana ketegangan dan ketakutan, karena ternyata gua yang mereka diami, adalah
wilayah antara Ramadi dan Fallujah, wilayah itu adalah zona pertempuran antara
gerilyawan Irak dan tentara koalisi. Dan itu berarti, jika pertempuran pecah,
gua itu akan jadi sasaran empuk berondongan peluru dari kedua sisi berlawanan.
Meski mereka disandera, namun
perlakuan yang mereka terima selama masa penyanderaan jauh dari penyiksaan, mereka
pun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh rasa hormat layaknya tamu.
Makanan-makanan dan air setiap hari diantar dalam jumlah yang cukup, mesti para
Mujahidin lain yang bertugas mengantar makanan-makanan itu mempertaruhkan
nyawanya dalam perjalanan menuju gua. Selama beberapa hari itu tidak terasa
mereka sudah bersahabat dengan para penyandera yang bernama Muhammad dan Ahmad.
Mereka saling menceritakan dan berbagi pengalaman seputar diri, pekerjaan dan
bahkan keluarga, membuat mereka merasa akrab satu sama lain. Kebersamaan mereka
dari hari ke hari nyatanya telah menciptakan suatu ikatan batin diantara
mereka.
Pembebasan yang berliku-liku pun
mesti dilewati dengan penuh kesabaran dan emosional, kenyatanya pembebasan yang
mereka nanti-nantikan hanya sebuah janji yang tak kunjung terpenuhi, seperti
yang dijanjikan Rois (pemimpin mujahidin). Dan pada akhirnya setelah
menyelesaikan beberapa proses seperti rekaman dan foto, hari dimana yang mereka
nantikan yaitu hari pembebasan karena mereka tidak terbukti bersalah. Namun
hari pembebasan itu tak semulus perkiraan, karena dicurigai letak gua yang
mereka tempati telah diketahui oleh
tentara koalisi Amerika, dan mereka harus diungsikan tiba-tiba ditengah
gelapnya malam. Pada keesokan harinya mereka dilepas tempat dimana mereka
diculik yaitu pom bensin, mereka segera menuju dan menancap gas ke perbatasan
Irak-Yordania, karena mereka akan dijemput disana. Namun lagi-lagi masalah
harus mereka hadapi, karena gerbang perbatasan Irak-Yordania untuk sementara
ditutup karena adanya perayaan Asyura yang tidak memperbolehkan siapa saja
keluar maupun masuk perbatasan. Setelah proses yang dilakukan pemerintah
Indonesia dan Irak mereka akhirnya diberikan izin untuk melewati gerbang
perbatasan dan kembali ke Indonesia dengan selamat.
KELEBIHAN
Buku ini benar-benar memberi pelajaran pada kita, bahwa setiap
pekerjaan, mempunyai resiko yang kadang memang menantang dan berbahaya. Namun
kita pun harus mengukur seberapa besar kesiapan dan kemampuan kita, sampai
dimana seharusnya kita melangkah atau berhenti ketika telah diambang batas
kemampuan kita. Buku ini banyak sekali peristiwa yang rasanya membuat nyawa
mereka serasa sudah diujung tanduk, namun secara mengejutkan, ternyata mereka
bisa bertahan melewati itu semua.
Buku ini menggambarkan pengalaman bagaimana keadaan pada saat mula
diculik atau disandera, hidup didaerah konflik yang jauh dari tanah air, dan
pengalaman-pengalaman menegangkan lainnya, sampai akhirnya dibebaskan dan dipulangkan
kembali ke Indonesia dengan selamat. Penuh dengan perjuangan dan ketegangan
yang dirasakan, seolah-olah pembaca diajak larut dalam suasana ketegangan yang
disajikan dalam buku ini. Tidak hanya ketegangan yang disajikan dalam buku ini,
pembaca juga menemukan kejadian yang membuat kita tertawa dan kadang menitikkan
air mata.
Pengalaman yang dirasakan Meutya dan Budianto tersebut penting
untuk diketahui, terutama bagi komunitas wartawan atau jurnalistik yang
dikhususkan hidup atau ditugaskan di daerah konflik. Sangat bermanfaat,
mengajak kita untuk berpikir dan merenungkan, pada saat manusia berada dalam
keadaan tekanan, keptusasaan, ternyata jika Tuhan mempunyai rencana lain, maka
apapun menjadi mungkin. Dan hanya atas kekuasaannya, Meutya dan Budiyono, bisa
keluar dengan selamat dan sehat walafiat dari Irak yang penuh ancaman.
KELEMAHAN
Sebagai pembaca kelemahan buku ini adalah tidak menceritakan secara
detail kegiatan beribadah. Ketika saya membaca buku ini, muncul pertanyaan bagaimana
mereka beribadah melakukan shalat wajib dengan keterbatasan tempat, air untuk
berwudhu, yang tidak saya dapatkan jawabannya dalam buku ini. Buku ini
disajikan dalam sudut pandang Meutya saja, padahal ada rekannya yaitu Budianto
karena setiap pemikiran dan sudut pandang masing-masing pihak berbeda.
KESIMPULAN
Buku 168 Jam Dalam Sandera ini
menggambarkan pengalaman diculik dan disandera
yang alami oleh reporter Metro TV yang bernama Meutya Hafid dan rekannya
juru kamera yaitu Budiyanto. Tempat terjadinya penculikan dan penyanderaan ini
di Negara Irak, tempat dimana mereka berdua ditugaskan untuk meliput keadaan
konflik disana. Buku ini sangat bermanfaat bagi para pembaca karena kita bisa
mengambil pembelajaran bahwa setiap usaha yang kita jalani, pasti ada resiko
yang harus kita hadapi, Seperti pepatah mengatakan “Semakin tinggi pohon, maka
semakin besar pula angin yang menerpa”. Penulis juga ingin menyampaikan lewat
buku ini bahwa, ikatan persahabatan yang mereka jalin bersama kedua penyandera
yaitu Muhammad dan Ahmad, hal tersebut sangat mengharukan.
SARAN
Seperti yang pembaca sampaikan pada
kelemahan buku 168 Jam Dalam Penyanderaan, buku ini terasa kurang lengkap yang
hanya bersudut pandang pada Meutya. Saya yakin dengan menghadirkan Budiyanto
dan mungkin Ibrahim, mereka pasti memiliki pandangan atau perspektif yang
berbeda dengan Meutya.
Download
ebook via Google Drive : Klik Moh. Syairi
Resensator : Moh. Syairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar